Ruang Gorontalo– Wakil Gubernur (Wagub) Gorontalo, Idah Syahidah Rusli Habibie, angkat suara menyikapi rencana pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Ia menilai kebijakan tersebut sangat memberatkan pemerintah daerah yang kini tengah berjuang menstabilkan keuangan sekaligus menanggung beban tambahan pembayaran gaji Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Hal itu disampaikan Idah saat menghadiri audiensi antara Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan RI, Jakarta. Pertemuan itu dihadiri 17 Gubernur dan Wakil Gubernur dari berbagai provinsi di Indonesia.
“Tujuan kami datang adalah untuk menyampaikan kondisi nyata yang kami hadapi di daerah. Kami mewakili 17 Gubernur se-Indonesia menyatakan keberatan atas kebijakan pengurangan dana TKD. Kalau transfer pusat ke daerah dikurangi, maka program pembangunan bisa terhenti,” ujar Idah tegas.
Beban Keuangan Daerah Kian Berat
Menurut Idah, pemotongan TKD tidak hanya berdampak pada terbatasnya ruang fiskal daerah, tetapi juga berpotensi menghambat pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur yang sudah direncanakan. Ia menilai keputusan ini tidak sejalan dengan semangat pemerataan pembangunan yang selalu digaungkan pemerintah pusat.
“Selama ini daerah berupaya keras menjalankan program prioritas yang mendukung target nasional. Tapi bagaimana kami bisa maksimal jika sumber dananya justru dikurangi?” kata Idah.
Ia mencontohkan, banyak daerah, termasuk Gorontalo, kini harus menanggung beban tambahan akibat rekrutmen besar-besaran ASN PPPK. Gaji dan tunjangan untuk PPPK menjadi pos belanja yang cukup signifikan, sementara ruang fiskal daerah semakin menyempit.
“Gaji PPPK itu tidak sedikit, dan sekarang jumlahnya terus bertambah. Sementara TKD mau dipotong. Kondisi ini bisa memperburuk kemampuan daerah dalam membayar kewajiban pegawai, apalagi untuk membiayai pembangunan,” jelasnya.
APPSI Sepakat Ajukan Keberatan ke Pemerintah Pusat
Dalam forum tersebut, seluruh perwakilan APPSI sepakat untuk menyampaikan keberatan bersama kepada pemerintah pusat. Mereka menilai kondisi fiskal sebagian besar daerah saat ini sudah “kritis”, dan pemotongan TKD sebesar ratusan triliun rupiah akan menjadi pukulan tambahan bagi daerah-daerah yang masih bergantung pada transfer pusat.
APPSI juga meminta Kementerian Keuangan meninjau ulang kebijakan tersebut dengan mempertimbangkan kesiapan daerah. “Kami bukan menolak kebijakan pusat, tetapi mohon ada evaluasi. Kalau daerah tidak kuat secara fiskal, dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat,” ujar Idah.
Baca Juga: Gubernur Gusnar Lantik 56 Pejabat Fungsional Tekankan Profesionalisme
RAPBN 2026: TKD Turun Drastis
Dalam RAPBN 2026, alokasi anggaran Transfer ke Daerah (TKD) direncanakan hanya sebesar Rp649,99 triliun, turun drastis Rp269 triliun dari alokasi pada APBN 2025 yang mencapai Rp919,87 triliun.
Kebijakan ini diklaim pemerintah sebagai bagian dari efisiensi fiskal nasional dan upaya memperkuat pembiayaan berbasis kinerja daerah. Namun, bagi banyak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kebijakan tersebut dinilai kurang realistis di tengah meningkatnya beban belanja wajib dan minimnya potensi pendapatan asli daerah (PAD).
Risiko terhadap Pembangunan dan Pelayanan Publik
Pemotongan TKD diperkirakan akan berdampak langsung pada kemampuan daerah membiayai program prioritas, mulai dari pembangunan infrastruktur dasar, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, hingga layanan kesehatan masyarakat.
“Kalau dana transfer dipotong, daerah pasti akan menunda sejumlah proyek strategis. Ini bukan hanya soal angka dalam APBN, tapi soal keberlangsungan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di daerah,” tegas Idah.
Ia menambahkan, pemerintah daerah pada dasarnya mendukung penuh arah kebijakan nasional, termasuk penguatan efisiensi dan peningkatan produktivitas anggaran. Namun menurutnya, kebijakan pusat harus disertai dengan dukungan nyata, bukan justru menambah tekanan fiskal.
“Pemerintah pusat tentu ingin daerah sukses menjalankan pembangunan. Tapi bagaimana kami bisa berhasil jika anggarannya justru dikurangi? Ini kontradiktif,” ujarnya menutup.